Minggu, 18 Oktober 2009

PENGABDIAN DAN KESETIAAN AHMADIYAH PADA PERJUANGAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Tidak sedikit putera Ahmadi yang gugur sebagai bunga bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini. Dorongan imaniat yang merupakan suatu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang Ahmadi, suatu kecintaan yang tanpa pamrih, yang dilandasi suatu sabda kudus dari Rasul suci Muhammad saw., bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari Iman, mengantarkan Jemaat Ahmadiyah dan warganya untuk selalu tampil berkorban bersama rekan-rekan sebangsanya di mana pun mereka berada. Dalam naskah yang ruang lingkupnya sangat terbatas ini tak dapat kami uraikan secara luas dan terperinci, akan tetapi kami berusaha mengemukakan hal-hal spesifik, yang esensil berkenaan dengan judul di atas dengan serelevan mungkin.

Berikut ini kami turunkan sebuah catatan pribadi dari seorang mubaligh Ahmadiyah, Sayyid Shah Muhammad Al-Jaelani. Catatan ini kami kutip langsung dari majalah “Sinar Islam” nomor Yubillium 50 tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Sulh 1355, Januari 1976, No.15/tahun ke-IV. Berikut ini adalah penuturannya :

“….. Saya terpaksa harus mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang telah berlalu sekitar tiga puluh tahun, waktu saya masih aktif sebagai Muballigh Ahmadiyah di Jawa Tengah dan melibatkan diri dalam gejolak api revolusi 17 Agustus 1945, di kala Bangsa Indonesia bangun serentak membela dan menegakkan haknya untuk menjadi satu bangsa yang merdeka.

Dalam bulan Agustus 1945 Amerika menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima dan Nagasaki, yang memaksa Kaisar Hirohito angkat tangan kepada sekutu dan melepaskan cengkeramannya di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang telah dikuasainya selama 3 1/2 tahun.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan serentak menyusun pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pada itu sementara Sekutu yang diwakili oleh tentara Inggeris mendarat di kepulauan Indonesia dengan tugas melucuti tentara Jepang. Belanda yang masih merasa berkuasa mempergunakan kesempatan-kesempatan itu dengan membonceng tentara Sekutu masuk ke Indonesia, dengan nama NICA (Nederlands Indies Civil Administration). Pemerintah R.I. merasa sukar untuk melanjutkan perjuangan di ibukota Jakarta dan akhirnya dengan pertimbangan yang masak di antara para pemimpin maka diputuskan untuk memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Jogyakarta.

Para anggota Jemaat Ahmadiyah yang tidak kalah patriotiknya, baik anggota biasa maupun pemimpin-pemimpin, ikut aktif bersama-sama rekan-rekan sebangsanya memasukkan diri dalam kancah perjuangan, baik secara langsung mengangkat senjata sebagai anggota BKR-TKR, ataupun lasykar-lasykar rakyat seperti TRIP dan dalam badan-badan perjuangan lainnya seperti “KOWANI”, KNI dan sebagainya.

Ketua PB. Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu, yaitu Bapak R. Mohammad Muhyidin pegawai tinggi RI, aktif dalam mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta. Dan pada waktu akan diadakan perayaan Ulang Tahun RI pertama di Jakarta, beliau diangkat sebagai Sekretaris Panitia. Bahkan beliau sendiri pada hari perayaan kemerdekaan RI pertama akan memimpin barisan pawai dengan memegang bendera Sang Merah Putih di muka barisan. Akan tetapi delapan hari sebelum HUT RI yang pertama, beliau telah diculik oleh Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya. Menurut keterangan Bapak Suwiryo dan Yusuf Yahya (mantan Walikota dan Wakil Walikota Jakarta), beliau telah dibawa oleh serdadu-serdadu Belanda ke suatu tempat di Depok dan kemudian ditembak mati (disyahidkan). Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun.

Maulana Nuruddin dan Haji S. Yahya Pontoh giat sekali mengunjungi pemusatan atau tempat-tempat tentara India di Jakarta untuk menjelaskan dalam bahasa Urdu dan Inggeris kepada mereka kebenaran kesucian perjuangan Bangsa Indonesia hingga banyak dari tentara India menjadi insyaf dan melarikan diri dan kemudian menggabungkan diri dan berjuang bersama dengan bangsa Indonesia.

Sebelum pasukan NICA memasuki dan merebut kota Bandung, Bapak Abdul Wahid HA dan Malik Aziz Ahmad Khan aktif sebagai penyiar RRI untuk siaran bahasa Urdu untuk memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia ke benua alit India. Orang-orang Ahmadi di Sumatera Barat, Sumatera Utara tidak ketingalan mengambil bagian dalam perjuangan fisik melawan Belanda. Perlu kiranya menjadi catatan, bahwa ketika RI memerlukan pinjaman uang dari rakyat, maka anggota Jemaat Ahmadiyah dengan spontan memberikan dengan segenap kemampuan yang ada. Tidak sedikit jumlah uang yang diberikan oleh Jemaat Ahmadiyah.

Pada suatu pertemuan Bung Karno menganjurkan kepada saya untuk pindah ke Jogyakarta, beliau berkata “hendaknya tuan pindah di Jogyakarta saja, supaya kita dapat sering bertemu dan membicarakan soal-soal agama”. Saya menjawab, “saya akan istikharah dahulu; setelah itu baru dapat mengambil keputusan”. Setelah melaksanakan sembahyang istikharah, diambillah keputusan untuk pindah ke Jogyakarta sesuai anjuran Bung Karno. Semenjak itu mulailah saya memberikan sumbangan tenaga dan fikiran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Di Jogyakarta sudah menetap beberapa saudara anggota PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia seperti Bapak R. Hidayat dan Bapak Ahmad Sarido serta Bapak-bapak Ahmadi dari Jawa Barat, antara lain Bapak Harmaen, Bapak Dahnan Mansur, Bapak Karnaen dan lain-lain. Setelah mengadakan perundingan, Bapak-bapak tersebut mengambil prakarsa untuk mengadakan konperensi Jemaat Ahmamdiyah Indonesia di daerah RI bertempat di Jogyakarta.

Konperensi memikirkan langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh Jemaat pada waktu itu sehubungan dengan diterimanya perintah dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. supaya kita membantu perjuangan Republik, sedang pada waktu itu belum mendapat pengakuan dri luar. Tanah air Indonesia masih dipersengketakan dengan Belanda. Badan itulah yang menjadi wadah bagi Jemaat untuk membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pada waktu itu.

Atas prakarsa Dewan Keamanan PBB, di masa itu dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari beberapa Konsul Jendral negara-negara asing yang berkedudukan di Jakarta. Anggota-anggota komisi itu seringkali mondar-mandir ke Jogyakarta. Pada suatu ketika Konsul Jendral Tiongkok Nasionalis yang namanya Mr. Chiang, sebagai anggota komisi tersebut mengunjungi Jogyakarta. Untuk menghormati kedatangan Konsul Jendral itu, di Presidenan diadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh para Menteri Kabinet, pembesar-pembesar militer maupun sipil dan para terkemuka.

Dalam pertemuan itu Mr. Chiang berpidato dengan bersemangat dan dengan nada sombong. Ia sangat mencela dan menghantam bangsa Indonesia atas kejadian-kejadian di Tangerang, Tegal, Malang dan lain-lain tempat di mana banyak penduduk China jadi korban. Setelah ia selesai berpidato, maka hadirin diberikan kesempatan untuk memberikan kata sambutan. Karena tiada seorang pun yang tampil ke muka dan memang keadaan tak mengizinkan dan kurang tepat untuk orang-orang Indonesia, saya memberanikan diri untuk menyambut pidato Mr. Chiang itu. Kurang lebih setelah jam lamanya saya kupas pidatonya itu.

Selesai memberikan sambutan, saya diserbu oleh para pemimpin bangsa Indonesia seperti almarhum Bapak Panglima Besar Sudirman, Sri Sultan Hamengkubowono IX, Dr. Sukirman, Mr. Sujarwo Condronegoro, H. Tabrani, Bung Tomo dan lain-lain. Mereka semua mengucapkan selamat dan terima kasih serta memeluk saya. Pidato sambutan saya dianggap mereka sebagai pembelaan di forum Internasional.

Uraian saya itu disiarkan dalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggeris, Perancis, Tionghoa, Arab, Urdu dan bahasa Indonesia oleh IBC (Indonesian Broadcasting Corporation) dan harian-harian yang terbit di Jogyakarta.

Saya teringat juga kejadian ketika dalam bulan Oktober 1948 mendapat instruksi untuk membawa satu kopor penuh uang Belanda dari pihak pemerintah pusat R.I. ke Jakarta untuk membantu perjuangan kaum Republik di Jakarta dan di antaranya untuk membiayai “Sari Pers” yang ada di bawah pimpinan Sastro Suwignyo di jalan Guntur. Untuk menyelundupkan uang itu saya harus menempuh jalan-jalan yang berbahaya dan mempunyai kisah tersendiri.

Setelah Belanda melakukan aksi militer kedua, saya tetap tinggal di Jogyakarta dan terus membantu para pejuang misalnya kontak dengan pemuda-pemuda, tentara, pelajar dan anak-anak gerilyawan di luar kota Jogyakarta. Karena hal itu nyawa saya sering hampir melayang.

Setelah resolusi Dewan Keamanan mengenai perundingan RI – Belanda, di Jogyakarta terbentuk Panitia Pemulihan Pemerinah RI Pusat, yang diketuai oleh Bapak Ki Hajar Dewantara dan saya sendiri pun menjadi anggota dalam panitia tersebut.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa pemimpin lainnya kembali dari Bangka ke Jogyakarta, di Jogyakarta dibentuk Panitia Penyambutan untuk menyambut rombongan para Pemimpin itu, di mana saya pun menjadi anggota panitia itu.

Ketika Belanda menyerahkan kedaulatan ke tangan Republik Indonesia, Bung Karno harus pindah lagi dari Jogyakarta ke Jakarta. Saya mendapat kehormatan terpilih dalam rombongan 12 orang pengantar beliau ke Jakarta dengan plane pertama “Garuda”, di mana saya satu-satunya orang yang bukan warga-negara RI. Di antara ke-12 orang itu terdapat antara lain Ki Hajar Dewantara, Mr. Susanto Tirtoprojo, Sri Paku Alam, Raden Mas Haryoto dan lain-lain.

Kejadian-kejadian itu menjadi kenangan yang indah dan memberikan suatu perasaan bangga karena perintah dari Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. Dengan demikian merasa sebagai suatu kewajiban yang suci untuk mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia, sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: ”Hubbul wathan minal iimaan”, bahwa kecintaan kepada tanah air adalah sebagian daripada iman.

Pemerintah RI/Kementerian Penerangan telah mengeluarkan Surat Penghargaan atas nama saya tertanggal 3 Agustus nomor 39/UP/Ktr dengan kata-kata antara lain :

“Pernyataan penghargaan ini didasarkan atas jasa-jasanya yang telah diberikan kepada perjuangan Bangsa dan Negara Republik Indonesia sewaktu masih harus mempertahankan dan memperkokoh kedudukan negara. Ia selalu menyumbangkan fikiran dan tenaganya dengan sepenuh keyakinan untuk membuat pendapat umum internasional bahwa perjuangan RI adalah benar dan adil”.

Atas jasa beliau dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 10 Nopember 1958 Presiden Republik Indonesia Ir. H. Soekarno menganugerahkan Tanda Jasa Pahlawan kepada Sayyid Shah Muhammad selaku tokoh Ahmadiyah yang pengabdiannya baru kami turunkan penuturannya di atas, masih banyak lagi tokoh Ahmadiyah yang lain yang benar-benar telah mencurahkan segenap apa yang ada padanya untuk kepentingan perjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar