Minggu, 18 Oktober 2009

PENGABDIAN DAN KESETIAAN AHMADIYAH PADA PERJUANGAN KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

Mereka (Jemaat Ahmadiyah, pen.) tidak pernah menggunakan taktik pintu belakang atau membonceng kekuatan-kekuatan lain secara tidak sportif dan karena itu tak pernah terdengar berita kericuhan di Indonesia dalam hal Ahmadiyah” (Tempo; 21 September 1974).

Tidak sedikit putera Ahmadi yang gugur sebagai bunga bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan negara tercinta ini. Dorongan imaniat yang merupakan suatu hal yang tak terpisahkan dari kehidupan seorang Ahmadi, suatu kecintaan yang tanpa pamrih, yang dilandasi suatu sabda kudus dari Rasul suci Muhammad saw., bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari Iman, mengantarkan Jemaat Ahmadiyah dan warganya untuk selalu tampil berkorban bersama rekan-rekan sebangsanya di mana pun mereka berada. Cukilan diatas salah satu dari antara sekian pengakuan pers dunia akan kesetiaan Ahmadiyah kepada Pemerintah dan negara di mana mereka berdiam. Dalam naskah yang ruang lingkupnya sangat terbatas ini tak dapat kami uraikan secara luas dan terperinci, akan tetapi kami berusaha mengemukakan hal-hal spesifik, yang esensil berkenaan dengan judul di atas dengan serelevan mungkin.

Berikut ini kami turunkan sebuah catatan pribadi dari seorang mubaligh Ahmadiyah, Sayyid Shah Muhammad Al-Jaelani. Catatan ini kami kutip langsung dari majalah “Sinar Islam” nomor Yubillium 50 tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Sulh 1355, Januari 1976, No.15/tahun ke-IV. Berikut ini adalah penuturannya :

“….. Saya terpaksa harus mengenangkan kembali peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang telah berlalu sekitar tiga puluh tahun, waktu saya masih aktif sebagai missionary Ahmadiyah di Jawa Tengah dan melibatkan diri dalam gejolak api revolusi 17 Agustus 1945, di kala Bangsa Indonesia bangun serentak membela dan menegakkan haknya untuk menjadi satu bangsa yang merdeka.

LATAR BELAKANG PERISTIWA

Untuk menyegarkan kembali ingatan, terutama dapat bermanfaat bagi para generasi muda, sebaiknya diterangkan secara sepintas lalu kejadian-kejadian di latar belakang peristiwa proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dalam bulan Agustus 1945 Amerika menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima dan Nagasaki, yang memaksa Kaisar Hirohito angkat tangan kepada sekutu dan melepaskan cengkeramannya di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang telah dikuasainya selama 3 1/2 tahun.

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan serentak menyusun pemerintahan Republik Indonesia. Dalam pada itu sementara Sekutu yang diwakili oleh tentara Inggeris mendarat di kepulauan Indonesia dengan tugas melucuti tentara Jepang. Belanda yang masih merasa berkuasa mempergunakan kesempatan-kesempatan itu dengan membonceng tentara Sekutu masuk ke Indonesia, dengan nama NICA (Nederlands Indies Civil Administration). Pemerintah R.I. merasa sukar untuk melanjutkan perjuangan di ibukota Jakarta dan akhirnya dengan pertimbangan yang masak di antara para pemimpin maka diputuskan untuk memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Jogyakarta.

Para anggota Jemaat Ahmadiyah yang tidak kalah patriotiknya, baik anggota biasa maupun pemimpin-pemimpin, ikut aktif bersama-sama rekan-rekan sebangsanya memasukkan diri dalam kancah perjuangan, baik secara langsung mengangkat senjata sebagai anggota BKR-TKR, ataupun lasykar-lasykar rakyat seperti TRIP dan dalam badan-badan perjuangan lainnya seperti “KOWANI”, KNI dan sebagainya.

Ketua PB. Jemaat Ahmadiyah Indonesia pada waktu itu, yaitu almarhum Bapak R. Mohammad Muhyidin pegawai tinggi RI, aktif dalam mempertahankan kedaulatan RI di Jakarta. Dan pada waktu akan diadakan perayaan Ulang Tahun RI pertama di Jakarta, beliau diangkat sebagai Sekretaris Panitia. Bahkan beliau sendiri pada hari perayaan kemerdekaan RI pertama akan memimpin barisan pawai dengan memegang bendera Sang Merah Putih di muka barisan. Akan tetapi delapan hari sebelum HUT RI yang pertama, beliau telah diculik oleh Belanda dan hingga kini hilang tak tentu rimbanya. Menurut keterangan almarhum Pak Suwiryo dan almarhum pak Yusuf Yahya, ex. Walikota dan Wakil Walikota Jakarta, beliau telah dibawa oleh serdadu-serdadu Belanda ke suatu tempat di Depok dan kemudian ditembak mati. Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun.

Saudara-saudara Maulwi Nuruddin dan Haji S. Yahya Pontoh giat sekali mengunjungi pemusatan atau tempat-tempat tentara India di Jakarta untuk menjelaskan dalam bahasa Urdu dan Inggeris kepada mereka kebenaran kesucian perjuangan Bangsa Indonesia hingga banyak dari tentara India menjadi insyaf dan melarikan diri dan kemudian menggabungkan diri dan berjuang bersama dengan bangsa Indonesia.

Sebelum tentara memasuki dan merebut kota Bandung, Bapak Utusan Abdul Wahid HA dan almarhum Malik Aziz Ahmad Khan aktif sebagai penyiar RRI untuk siaran bahasa Urdu untuk memperkenalkan perjuangan bangsa Indonesia ke benua alit India. Orang-orang Ahmadi di Sumatera Barat, Sumatera Utara tidak ketingalan mengambil bagian dalam perjuangan fisik melawan Belanda. Perlu kiranya menjadi catatan, bahwa ketika RI memerlukan pinjaman uang dari rakyat, maka anggota Jemaat Ahmadiyah dengan spontan memberikan dengan segenap kemampuan yang ada. Tidak sedikit jumlah uang yang diberikan oleh Jemaat Ahmadiyah, umpamanya Cabang Garut.

BANTUAN AHMADIYAH DI LUAR NEGERI

Pada akhir tahun 1946, tepatnya hari Selasa Legi tanggal 10-1-1946 tersiar sebuah pernyataan dari Imam Jemaat Ahmadiyah yang dimuat dalam surat-surat kabar antara lain: Kedaulatan Rakyat Jogyakarta, harian Merdeka Jakarta dan lain-lain yang disiarkan oleh Kantor Berita Antara dengan judul :

MEMPERHEBAT PENERANGAN TENTANG REPUBLIK INDONESIA
DI LUAR NEGERI. GERAKAN AHMADIYAH TURUT MEMBANTU


Betapa besarnya perhatian gerakan Ahmadiyah tentang perjuangan kemerdekaan bangsa kita dapat diketahui dari surat-surat kabar harian dan risalah-risalah dalam bahasa Urdu yang baru-baru ini diterima dari India. Dalam surat-surat kabar tersebut, dijumpai banyak sekali berita-berita dan karangan-karangan yang membentangkan sejarah perjuangan kita, soal-soal yang berhubungan dengan keadaan ekonomi dan politik negara, biografi pemimpin-pemimpin kita, terjemahan dari undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan lain-lain.

Selain itu tercantum juga beberapa pidato yang panjang lebar, mengenai seruan dan anjuran kepada pemimpin-pemimpin negara Islam, supaya mereka dengan serentak meyatakan sikapnya masing-masing untuk mengakui berdirinya pemerintahan Republik Indonesia. Hal yang mengharukan ialah suatu perintah umum dari Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Pemimpin gerakan Ahmadiyah kepada pengikut-pengikutnya di seluruh dunia yang berjumlah lebih kurang dua juta orang, supaya mereka selama bulan September dan Oktober yang baru lalu ini (1946) tiap-tiap hari Senen dan Kamis berpuasa memohonkan do’a kepada Allah swt guna menolong bangsa Indonesia dalam perjuangannya memberi semangat hidup untuk tetap bersatu-padu dalam cita-citanya menempatkan ru’b (ketakutan) di dalam hati musuhnya serta tercapainya sekalian cita-cita bangsa Indonesia”.

Ketika diadakan peringatan genap satu tahun berdirinya Republik Indonesia, pemimpin tersebut menurut harian Al-Fazl – berpidato antaranya sebagai berikut : “Jika bangsa Indonesia akan mendapat kemerdekaan 100%, tentulah hal ini akan berfaedah besar bagi dunia Islam. Untuk hal itu ada baiknya jika negara-negara Islam pada masa ini dengan serentak memperdengarkan suaranya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia serta meminta supaya negara-negara lain juga mengakuinya. Selain itu saya berharap, supaya seluruh mubaligh(utusan) Ahmadiyah yang kini ada di India dan di luar India, yaitu Palestina, Mesir, Iran, Afrika, Eropa, Kanada, Amerika Serikat, Amerika Selatan dan lain-lain mendengungkan serta menulis dalam surat-surat kabar harian dan majalah-majalah yang mereka keluarkan, karangan-karangan yang berhubungan dengan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya meminta kepada negara-negara Islam untuk membantu bangsa Indonesia mencapai kemerdekaannya. Soal kemerdekaan Indonesia harus tiap-tiap waktu didengung-dengungkan, supaya negara-negara di dunia ini memperhatikan hal itu. Sudah menjadi haknya bangsa Indonesia untuk merdeka di masa ini. Bangsa ini adalah bangsa yang maju, memiliki peradaban tinggi serta mempunyai pemimpin-pemimpin yang bijaksana. Mereka adalah suatu bangsa yang besar dan bersatu. Bangsa Belanda yang jumlahnya kecil sekali-kali tidak berhak untuk memerintah mereka”(ejaan baru dari kami).

PERJUANGAN DI IBUKOTA JOGYAKARTA

“Tuan akan bicara dalam bahasa apa?” demikian Bapak Presiden Soekarno membuka percakapan setelah kami bersalaman “Dalam bahasa persatuan Bangsa Indonesia”, jawab saya. Atas jawaban itu nampak benar beliau sangat terkesan dan muka beliau berseri-seri. Waktu saya menyerahkan bingkisan kepada beliau saya ucapkan kata-kata demikian, “kami menghadiahkan kitab ini kepada Bung Karno dengan khidmat dan penuh hormat dengan penghargaan agar Paduka Yang Mulia sudi mempelajari kitab ini (Ahmadiyyat or the True Islam). Di kala kena peluru kesucian karena isi kitab ini, kami harap Paduka Yang Mulia akan berani memproklamirkan keimanan kesuciannya sebagaimana Paduka Yang Mulia berani memproklamirkan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945”.

Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan penuh kesungguhan dan khidmat tapi sederhana itu, beliau tersentak berdiri dari duduknya lalu sambil memegang tangan saya mengucapkan kata-kata “Laa haula wa laa quwwata illa billaah … minta dido’akan …. minta dido’akan …” Kata-kata itu diucapkan dengan berulang-ulang, sedangkan mata beliau tampak berkaca-kaca, seakan-akan air mata beliau mau keluar. Sementara kami minum-minum beliau mengatakan, “saya sangat gembira dan terima kasih kepada tuan atas segala bantuan dan perjuangan serta darma-bakti pada bangsa dan pemerintah kami”.

Beliau menganjurkan, “hendaknya tuan pindah di Jogyakarta saja, supaya kita dapat sering bertemu dan membicarakan soal-soal agama”. Saya menjawab, “saya akan istikharah dahulu; setelah itu baru dapat mengambil keputusan”. Setelah melaksanakan sembahyang istikharah, diambillah keputusan untuk pindah ke Jogyakarta sesuai anjuran Bung Karno. Semenjak itu mulailah saya memberikan sumbangan tenaga dan fikiran dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

KONPERENSI AHMADIYAH DI JOGYAKARTA

Di Jogyakarta sudah menetap beberapa saudara anggota PB Jemaat Ahmadiyah Indonesia seperti Bapak R. Hidayat dan Bapak Ahmad Sarido serta Bapak-bapak Ahmadi dari Jawa Barat, antara lain Bapak Harmaen, Bapak Dahnan Mansur, Bapak Karnaen dan lain-lain. Setelah mengadakan perundingan, Bapak-bapak tersebut mengambil prakarsa untuk mengadakan konperensi Jemaat Ahmamdiyah Indonesia di daerah RI bertempat di Jogyakarta.

Konperensi memikirkan langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh Jemaat pada waktu itu sehubungan dengan diterimanya perintah dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. supaya kita membantu perjuangan Republik, sedang pada waktu itu belum mendapat pengakuan dri luar. Tanah air Indonesia masih dipersengketakan dengan Belanda. Badan itulah yang menjadi wadah bagi Jemaat untuk membantu perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pada waktu itu.

Atas prakarsa Dewan Keamanan PBB, di masa itu dibentuk sebuah komisi yang terdiri dari beberapa Konsul Jendral negara-negara asing yang berkedudukan di Jakarta. Anggota-anggota komisi itu seringkali mondar-mandir ke Jogyakarta. Pada suatu ketika Konsul Jendral Tiongkok Nasionalis yang namanya Mr. Chiang, sebagai anggota komisi tersebut mengunjungi Jogyakarta. Untuk menghormati kedatangan Konsul Jendral itu, di Presidenan diadakan suatu pertemuan yang dihadiri oleh para Menteri Kabinet, pembesar-pembesar militer maupun sipil dan para terkemuka.

Dalam pertemuan itu Mr. Chiang berpidato dengan bersemangat dan dengan nada sombong. Ia sangat mencela dan menghantam bangsa Indonesia atas kejadian-kejadian di Tangerang, Tegal, Malang dan lain-lain tempat di mana banyak penduduk China jadi korban. Setelah ia selesai berpidato, maka hadirin diberikan kesempatan untuk memberikan kata sambutan. Karena tiada seorang pun yang tampil ke muka dan memang keadaan tak mengizinkan dan kurang tepat untuk orang-orang Indonesia, saya memberanikan diri untuk menyambut pidato Mr. Chiang itu. Kurang lebih setelah jam lamanya saya kupas pidatonya itu.

Selesai memberikan sambutan, saya diserbu oleh para pemimpin bangsa Indonesia seperti almarhum Bapak Panglima Besar Sudirman, Sri Sultan Hamengkubowono IX, Dr. Sukirman, Mr. Sujarwo Condronegoro, H. Tabrani, Bung Tomo dan lain-lain. Mereka semua mengucapkan selamat dan terima kasih serta memeluk saya. Pidato sambutan saya dianggap mereka sebagai pembelaan di forum Internasional.

Uraian saya itu disiarkan dalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggeris, Perancis, Tionghoa, Arab, Urdu dan bahasa Indonesia oleh IBC (Indonesian Broadcasting Corporation) dan harian-harian yang terbit di Jogyakarta.

Saya teringat juga kejadian ketika dalam bulan Oktober 1948 mendapat instruksi untuk membawa satu kopor penuh uang Belanda dari pihak pemerintah pusat R.I. ke Jakarta untuk membantu perjuangan kaum Republik di Jakarta dan di antaranya untuk membiayai “Sari Pers” yang ada di bawah pimpinan Sastro Suwignyo di jalan Guntur. Untuk menyelundupkan uang itu saya harus menempuh jalan-jalan yang berbahaya dan mempunyai kisah tersendiri.

Setelah Belanda melakukan aksi militer kedua, saya tetap tinggal di Jogyakarta dan terus membantu para pejuang misalnya kontak dengan pemuda-pemuda, tentara, pelajar dan anak-anak gerilyawan di luar kota Jogyakarta. Karena hal itu nyawa saya sering hampir melayang.

Setelah resolusi Dewan Keamanan mengenai perundingan RI – Belanda, di Jogyakarta terbentuk Panitia Pemulihan Pemerinah RI Pusat, yang diketuai oleh Bapak Ki Hajar Dewantara dan saya sendiri pun menjadi anggota dalam panitia tersebut.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa pemimpin lainnya kembali dari Bangka ke Jogyakarta, di Jogyakarta dibentuk Panitia Penyambutan untuk menyambut rombongan para Pemimpin itu, di mana saya pun menjadi anggota panitia itu.

Ketika Belanda menyerahkan kedaulatan ke tangan Republik Indonesia, Bung Karno harus pindah lagi dari Jogyakarta ke Jakarta. Saya mendapat kehormatan terpilih dalam rombongan 12 orang pengantar beliau ke Jakarta dengan plane pertama “Garuda”, di mana saya satu-satunya orang yang bukan warga-negara RI. Di antara ke-12 orang itu terdapat antara lain Ki Hajar Dewantara, Mr. Susanto Tirtoprojo, Sri Paku Alam, Raden Mas Haryoto dan lain-lain.

Kejadian-kejadian itu menjadi kenangan yang indah dan memberikan suatu perasaan bangga karena perintah dari Imam Jemaat Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. Dengan demikian merasa sebagai suatu kewajiban yang suci untuk mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa Indonesia, sesuai dengan sabda Rasulullah saw.: ”Hubbul wathan minal iimaan”, bahwa kecintaan kepada tanah air adalah sebagian daripada iman.

Pemerintah RI/Kementerian Penerangan telah mengeluarkan Surat Penghargaan atas nama saya tertanggal 3 Agustus nomor 39/UP/Ktr dengan kata-kata antara lain :

“Pernyataan penghargaan ini didasarkan atas jasa-jasanya yang telah diberikan kepada perjuangan Bangsa dan Negara Republik Indonesia sewaktu masih harus mempertahankan dan memperkokoh kedudukan negara. Ia selalu menyumbangkan fikiran dan tenaganya dengan sepenuh keyakinan untuk membuat pendapat umum internasional bahwa perjuangan RI adalah benar dan adil”.

Selain Sayyid Shah Muhammad selaku tokoh Ahmadiyah yang pengabdiannya baru kami turunkan penuturannya di atas, masih banyak lagi tokoh Ahmadiyah yang lain yang benar-benar telah mencurahkan segenap apa yang ada padanya untuk kepentingan perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Misalnya Bapak E. Moh. Tayyib. Ia seorang pejuang kemerdekaan yang tabah. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia terpilih menjadi anggota KNI Singaparna. Ia ikut gerakan BKR-TKR. Ia turut mendirikan Gerakan Orang Tua Murid yang dilanjutkan dengan Yayasan Putera Bahagia.

Untuk jasa-jasanya mendapat Piagam tanda penghormatan dari Presiden Republik Indonesia berupa Setia Lencana. Ia diakui sebagai Pejuang Perintis Kemerdekaan. Kini ia menjadi Sekjen P.U. Perintis Kemerdekaan Indonesia. Dari tahun 1946 hingga tahun 1952, orang Ahmadi dari Cukangkawung dan 8 orang dari Sangianglobang (Tasikmalaya) telah mati syahid di tangan keganasan teror DI-TII, berhubung kesetiaan mereka kepada Pemerintah RI.

KHADIMUL AHMADIYAH MENJADI
PAHLAWAN AMPERA.


Hari Jumat tanggal 25 Februari 1966, ratusan penduduk kota metropolitan Jakarta mengantarkan jenazah Arief Rahman Hakim, Pahlawan Ampera, ke pemakaman Blok P, Kebayoran Baru.

Arief Rahman Hakim lahir pada tanggal 24 Februari 1943 di Padang. Kedua orang tuanya, Haji Syair dan Hakimah, adalah Ahmadi lama di kota itu. Nama yang sebenarnya ialah Ataur Rahman, tetapi nama pertama Ataur itu digantinya sendiri dengan Arief. Untuk menunjukkan keistimewaannya, lebih lanjut menambahkan nama Hakim pada akhir namanya, yang diambilnya dari nama ibunya Hakimah.

Pada tahun 1958 ia tamat di SMP dan pindah ke Jakarta untuk meneruskan pelajarannya di SMA dan kemudian pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Dan selama di Jakarta ia merupakan seorang Khadimul Ahmadiyah yang aktif. Dalam pergolakan yang dicetuskan mahasiswa-mahasiswa untuk merobohkan Orde Lama, pemuda Arief tidak ketinggalan. Hari Kamis tanggal 24 Februari 1966, persis pada hari kelahirannya, pemuda Ahmadiyah itu gugur kena peluru. Ia digelari Pahlawan Ampera.

Sumber :
Buku Kami Orang Islam PB JAI, halaman 119 s/d 125

1 komentar:

  1. terima kasih atas tabilgh nya , karena itu bermanfaat untuk saya..... terutama dlm menyambut hari kemerdekaan indonesia.... :)
    LOVE FOR ALL HATRED FOR NONE.....

    BalasHapus